Oleh : Faranisa Diajeng)*
Pemerintah Indonesia terus mendorong reformasi perpajakan untuk memastikan ketahanan fiskal dan kemandirian ekonomi nasional. Di tengah dinamika global yang semakin kompleks, termasuk ketegangan geopolitik, proteksionisme, dan gejolak pasar digital, langkah-langkah inovatif mulai ditempuh. Salah satu yang menjadi perhatian utama adalah upaya intensif pemerintah dalam menggali potensi pajak dari transaksi digital, yang saat ini tumbuh pesat seiring masifnya aktivitas ekonomi berbasis internet.
Komitmen tersebut mencuat dalam rapat kerja Menteri Keuangan bersama Komisi XI DPR RI, yang membahas Rencana Kerja Anggaran (RKA) dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun Anggaran 2026. Dalam kesempatan itu, Wakil Menteri Keuangan, Anggito Abimanyu mengungkapkan bahwa strategi penguatan penerimaan negara akan fokus pada pemanfaatan data digital, termasuk analisis media sosial untuk menelusuri aktivitas ekonomi yang belum tergarap dalam sistem perpajakan.
Anggito Abimanyu mengatakan penggalian potensi perpajakan akan dilakukan melalui analisis data maupun penelusuran media sosial. Ia menegaskan bahwa digitalisasi dan pengawasan berbasis data menjadi senjata utama dalam memperluas basis pajak serta menjangkau pelaku ekonomi digital yang selama ini relatif belum tersentuh.
Strategi ini merupakan bagian dari upaya mencapai target rasio perpajakan sebesar 10,45 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2026, dengan dukungan anggaran tambahan sebesar Rp1,2 triliun yang diajukan Kementerian Keuangan untuk tahun depan. Seluruh kebijakan diarahkan agar rasio pendapatan negara terhadap PDB mencapai rentang 11,71–12,22 persen, sebagai tonggak penting dalam memperkuat kemandirian fiskal.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pun bergerak cepat. Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto menyampaikan bahwa pemerintah telah menunjuk platform marketplace, baik dalam maupun luar negeri, sebagai pemungut pajak. Payung hukum atas kebijakan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025, yang mewajibkan penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) untuk memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas penghasilan pedagang yang bertransaksi secara digital.
Platform digital dalam negeri sudah ditetapkan sebagai pemungut pajak. Kebijakan ini sudah selesai. Pihaknya juga akan memperluas cakupan pungutan pajak ke sektor aset kripto dan menunjuk lembaga jasa keuangan tertentu sebagai pemungut. Ia menambahkan bahwa DJP sedang memperkuat digitalisasi sistem perpajakan, termasuk pembenahan manajemen risiko kepatuhan.
Lebih jauh, DJP bekerja sama dengan penegak hukum seperti Polri, Kejaksaan Agung, KPK, dan PPATK untuk mengawasi aktivitas ekonomi ilegal dan underground economy. Pemeriksaan bersama (joint audit) menjadi salah satu cara optimalisasi penegakan hukum bagi wajib pajak yang tidak patuh. Pihaknya memastikan ada potensi pajak yang belum bisa dipungut. Di sinilah peran pengawasan dan penegakan hukum menjadi sangat penting.
Meski begitu, tantangan tidak kecil. Data Kementerian Keuangan menunjukkan tren penurunan rasio pajak dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2022, rasio pajak berada di angka 10,38 persen, lalu menurun ke 10,31 persen di tahun 2023. Proyeksi tahun 2024 bahkan lebih rendah lagi, yaitu 10,08 persen, dan diperkirakan sedikit membaik menjadi 10,03 persen pada 2025.
Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, memandang bahwa penurunan tersebut tak lepas dari perlambatan ekonomi nasional. Menurutnya, untuk menaikkan rasio pajak, pendapatan masyarakat harus tumbuh seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Negara bisa memiliki rasio pajak yang tinggi kalau pendapatan masyarakatnya juga besar. Tidak mengherankan negara dengan rasio pajak tinggi biasanya memiliki pendapatan per kapita yang juga tinggi.
Fajry juga menyarankan agar pemerintah memperluas basis pajak melalui ekstensifikasi serta memanfaatkan data pihak ketiga yang valid. Ia menilai sejumlah instrumen dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan belum dimaksimalkan. Reformasi kebijakan dan regulasi pajak harus dilakukan secara konsisten dalam jangka menengah, sedangkan dalam jangka panjang diperlukan pembenahan struktur basis pajak nasional.
Dalam konteks global yang sarat ketidakpastian, pemerintah merespons dengan lima strategi utama untuk memperkuat sistem perpajakan nasional. Wamenkeu Anggito Abimanyu menyebut bahwa strategi pertama adalah pertukaran data lintas institusi sebagai fondasi menciptakan sistem pajak yang transparan.
Strategi kedua menyasar pengawasan ketat terhadap transaksi digital, baik domestik maupun internasional. Ketiga, pemerintah menyesuaikan tarif bea masuk dan memperluas cakupan cukai untuk mendukung hilirisasi industri. Strategi keempat menyasar optimalisasi penerimaan dari sumber daya alam, menegaskan komitmen Presiden Prabowo Subianto agar setiap pelaku ekstraksi SDA berkontribusi secara adil terhadap fiskal nasional. Terakhir, strategi kelima adalah integrasi sistem perpajakan dan kepabeanan melalui Coretax, CEISA, dan SIMBARA.
Langkah-langkah ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam melakukan transformasi struktural di sektor perpajakan, sekaligus menjawab tantangan zaman yang makin digital dan borderless. Penguatan regulasi, perluasan cakupan pungutan, dan integrasi data menjadi fondasi baru dalam menciptakan sistem perpajakan yang adil, efektif, dan berkelanjutan. Di tengah keterbatasan fiskal dan tekanan ekonomi global, pajak digital bukan sekadar sumber penerimaan baru, tetapi pilar utama dalam menopang masa depan ekonomi Indonesia.
)* Pengamat Kebijakan Publik