Masyarakat Diminta Tidak Terprovokasi Gerakan Intoleran

Oleh : Rivka Mayangsari*)

Munculnya kembali aksi-aksi intoleransi di tengah masyarakat menjadi ancaman serius bagi keutuhan dan kedamaian bangsa. Dalam konteks negara yang menjunjung tinggi prinsip kebhinekaan seperti Indonesia, segala bentuk penolakan terhadap keberagaman, baik agama, budaya, maupun tradisi, perlu dilawan dengan kesadaran kolektif dan ketegasan negara. Seruan kepada masyarakat untuk tidak mudah terprovokasi oleh gerakan intoleran kini menjadi sangat relevan dan mendesak.

Ketua Umum Pejuang Nusantara Indonesia Bersatu (PNIB), Wasis Nugroho yang dikenal dengan sapaan Gus Wal, menyampaikan sikap keras terhadap segala bentuk aksi intoleran yang mengganggu kerukunan umat beragama. Ia menilai bahwa larangan terhadap umat agama lain untuk beribadah atau mendirikan institusi pendidikan agama, termasuk sekolah-sekolah berbasis keyakinan tertentu, merupakan pelanggaran terhadap undang-undang. Hal tersebut dianggap bertentangan dengan prinsip dasar konstitusi yang menjamin kebebasan beragama sebagai hak asasi setiap warga negara.

Menurut pandangan Gus Wal, pelaku intoleransi kerap menyembunyikan agenda ideologisnya di balik isu-isu agama. Paham-paham transnasional seperti Wahabi, Khilafah, dan Terorisme disebutnya sering menyusup melalui gerakan penolakan terhadap aktivitas keagamaan yang sah. Kelompok-kelompok ini, meskipun jumlahnya kecil, dinilai memiliki kemampuan untuk menciptakan ketegangan sosial dengan memanipulasi sentimen keagamaan. Masyarakat diingatkan untuk tidak terpancing provokasi semacam ini, melainkan harus bersatu dalam semangat kebangsaan guna menjaga kedamaian dan keutuhan bangsa.

Sikap tegas ini sejalan dengan langkah konkret pemerintah dalam merespons bahaya intoleransi yang semakin nyata. Kementerian Agama (Kemenag) bersama Badan Intelijen Negara (BIN) telah resmi menandatangani Memorandum of Agreement (MOA) sebagai bentuk penguatan kerja sama dalam mencegah radikalisme dan intoleransi. Penandatanganan ini merupakan tindak lanjut dari Memorandum of Understanding (MOU) yang sebelumnya telah disepakati oleh kedua lembaga tersebut, sebagai wujud komitmen bersama dalam menjaga stabilitas nasional.

Sekretaris Jenderal Kemenag memandang bahwa perjanjian kerja sama ini menjadi tonggak penting dalam upaya memperkuat sinergi antar lembaga negara. Kolaborasi tersebut diarahkan untuk memastikan pelaksanaan amanat konstitusi berlangsung secara optimal dan terbebas dari pengaruh-pengaruh yang dapat merongrong keamanan negara. Dalam situasi di mana jumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) terus meningkat dari lebih dari 280 ribu saat ini menjadi 400 ribu pada tahun 2025 maka pencegahan terhadap intoleransi menjadi tantangan besar yang harus dihadapi secara sistemik dan terstruktur.

Tak hanya di tingkat pusat, upaya membendung penyebaran paham radikal juga digencarkan di daerah, terutama wilayah-wilayah yang rawan infiltrasi ideologi ekstrem. Di Kabupaten Poso, Satuan Tugas (Satgas) II Preemtif Operasi Madago Raya terus meningkatkan pendekatan preemtif melalui kegiatan sambang kepada tokoh-tokoh agama setempat. Dalam kunjungan tersebut, tim Da’i Polri mengajak para tokoh agama untuk terus menyebarkan nilai-nilai toleransi dan memperkuat semangat persatuan antarumat beragama.

Salah satu kunjungan dilakukan oleh perwira kepolisian yang menyampaikan pentingnya menjaga ketahanan ideologi bangsa dengan memperkuat kerja sama antara aparat keamanan dan pemuka agama. Tokoh-tokoh masyarakat di daerah dinilai memiliki peran strategis dalam meredam provokasi dan membentengi masyarakat dari pengaruh kelompok separatis dan intoleran. Kegiatan semacam ini menjadi bukti bahwa aparat negara hadir secara aktif dalam membangun fondasi sosial yang inklusif dan menjaga kedamaian di akar rumput.

Dalam konteks perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat, kelompok intoleran juga kerap memanfaatkan media sosial sebagai sarana penyebaran narasi kebencian. Konten-konten provokatif yang membenturkan antar kelompok agama dan etnis seringkali dikemas dengan dalih pembelaan terhadap nilai-nilai agama, padahal sesungguhnya menyimpan agenda politik dan ideologis yang berbahaya. Untuk itu, literasi digital dan kemampuan memilah informasi menjadi aspek penting yang harus dimiliki setiap warga negara agar tidak terjerumus dalam jebakan propaganda kelompok radikal.

Menghadapi situasi ini, masyarakat diharapkan semakin cerdas dan waspada. Semangat gotong royong dalam menjaga persatuan harus terus dikuatkan, sebagaimana nilai-nilai Pancasila yang mengakar dalam kehidupan berbangsa. Upaya menjaga toleransi bukan hanya menjadi tugas pemerintah atau aparat keamanan semata, melainkan kewajiban kolektif seluruh rakyat Indonesia. Perbedaan keyakinan, budaya, dan bahasa yang dimiliki bangsa ini bukanlah ancaman, tetapi kekayaan yang seharusnya dirayakan dalam semangat persaudaraan.

Sebagai bangsa yang dibangun di atas fondasi keberagaman, Indonesia tidak boleh memberikan ruang sedikit pun bagi ideologi kebencian dan kelompok yang ingin menggantikan sistem kebangsaan dengan paham transnasional. Perjuangan menjaga negara ini dari kelompok-kelompok intoleran merupakan bagian dari jihad kebangsaan yang harus dihidupkan oleh seluruh lapisan masyarakat.

Kini saatnya seluruh komponen bangsa dari tokoh agama, tokoh adat, aparat, pendidik, hingga pemuda bersatu dalam barisan yang kokoh untuk mempertahankan Indonesia sebagai negara yang damai, adil, dan penuh toleransi. Keberagaman bukan masalah, tetapi kekuatan. Dan menjaga keberagaman adalah bentuk cinta paling nyata kepada tanah air.

*) Pemerhati gerakan radikalisme

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *