Penghapusan Outsourcing Fokus pada Perbaikan Jaminan Pekerja

Oleh: Nur Utunissa *)

Kebijakan penghapusan sistem outsourcing di Indonesia menjadi langkah monumental dalam upaya memperbaiki nasib dan jaminan para pekerja. Selama bertahun-tahun, sistem outsourcing atau tenaga alih daya menjadi salah satu model hubungan kerja yang banyak digunakan oleh perusahaan untuk menekan biaya produksi dan meningkatkan efisiensi. Namun, kenyataannya sistem ini kerap menimbulkan persoalan mendalam yang berkaitan dengan kesejahteraan, keamanan kerja, dan masa depan para pekerja.

Di bawah sistem outsourcing, banyak pekerja ditempatkan dalam situasi kerja yang tidak pasti. Mereka bekerja untuk perusahaan pengguna jasa, tetapi secara hukum berada di bawah naungan perusahaan penyedia tenaga kerja. Hal ini menyebabkan ketidakjelasan hubungan kerja, berkurangnya akses terhadap hak-hak normatif seperti tunjangan hari raya, jaminan sosial, hingga pengakuan atas masa kerja. Dalam banyak kasus, pekerja outsourcing tidak mendapatkan kepastian kerja karena kontrak yang bersifat jangka pendek dan dapat diperpanjang atau dihentikan sewaktu-waktu.

Dengan dikeluarkannya kebijakan penghapusan sistem outsourcing, pemerintah menunjukkan komitmen untuk menata ulang struktur ketenagakerjaan nasional. Tidak hanya sebatas menghapus sistem alih daya, kebijakan ini juga bertujuan mereformasi pola rekrutmen dan hubungan kerja agar lebih adil, transparan, dan manusiawi.

Langkah ini diharapkan membawa implikasi luas di berbagai sektor industri. Banyak perusahaan yang selama ini menggantungkan operasionalnya pada jasa outsourcing kini dituntut untuk menyesuaikan sistem kerja mereka. Artinya, mereka harus mengalihkan status para pekerja outsourcing menjadi pekerja tetap atau kontrak langsung di bawah perusahaan pengguna. Perubahan ini secara otomatis akan meningkatkan tanggung jawab perusahaan dalam memberikan hak-hak normatif seperti jaminan kesehatan, jaminan ketenagakerjaan, upah layak, serta perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja sepihak.

Presiden RI, Prabowo Subianto menyatakan dukungannya untuk menghapus sistem outsourcing, salah satunya melalui pembentukan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional. Presiden mengatakan Dewan Kesejahteraan Buruh akan turut mempelajari secara mendalam mekanisme transisi menuju penghapusan sistem tersebut, dengan tetap mempertimbangkan iklim investasi.

Disamping itu, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Yassierli mengatakan akan menjadikan arahan Presiden sebagai landasan dalam penyusunan peraturan menteri. Yassierli juga menyampaikan bahwa pernyataan Prabowo tentang outsourcing merupakan bukti bahwa pemerintah aspiratif dan memahami kegundahan pekerja/buruh Indonesia.

Dari sisi pekerja, kebijakan ini diharapkan membawa angin segar terhadap stabilitas dan kesejahteraan hidup. Dengan hubungan kerja langsung antara pekerja dan perusahaan, pekerja akan memiliki posisi tawar yang lebih kuat dalam menyuarakan hak-haknya. Mereka juga akan mendapatkan perlindungan hukum yang lebih jelas apabila terjadi perselisihan industrial. Selain itu, akses terhadap program-program perlindungan sosial seperti BPJS Ketenagakerjaan, jaminan hari tua, serta program pensiun akan lebih mudah dan pasti.

Tidak kalah penting adalah penguatan peran serikat pekerja dalam menjaga pelaksanaan kebijakan ini. Serikat pekerja sebagai representasi buruh harus menjadi mitra aktif dalam memastikan hak-hak pekerja tidak diabaikan dan kebijakan ini benar-benar dijalankan dengan semangat keadilan. Serikat juga dapat berperan dalam mediasi jika terjadi konflik atau pelanggaran hak yang dilakukan oleh pihak perusahaan selama masa transisi.

Presiden Partai Buruh sekaligus Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal mengatakan sangat mendukung kebijakan penghapusan outsourcing yang digagas Pemerintah. Said mengatakan, apabila sistem outsourcing dalam pekerjaan, tidak dipermasalahkan. Namun, beda haknya jika alih daya lewat agen. Menurutnya, tidak boleh adanya outsourcing berkedok pemagangan atau sistem mitra.

Kebijakan penghapusan outsourcing juga memiliki dimensi sosial yang luas. Banyak pekerja yang selama ini hidup dalam ketidakpastian kerja, tidak memiliki penghasilan tetap, dan sulit mendapatkan akses kredit atau perumahan. Dengan status sebagai pekerja tetap, mereka akan memiliki jaminan yang lebih besar untuk membangun masa depan, mulai dari memiliki rumah, pendidikan anak, hingga dana pensiun. Perubahan ini secara tidak langsung akan berkontribusi pada peningkatan kualitas hidup masyarakat dan pengurangan angka kemiskinan.

Dalam jangka panjang, kebijakan ini juga diyakini akan memberikan dampak positif terhadap iklim investasi. Negara yang menjamin kepastian hukum dan perlindungan hak-hak tenaga kerja akan lebih dihargai oleh investor yang berkomitmen pada prinsip-prinsip keberlanjutan dan tanggung jawab sosial.

Kebijakan ini dapat menjadi bagian dari strategi jangka panjang dalam membangun ekonomi nasional yang inklusif dan berkeadilan. Transformasi sistem ketenagakerjaan memang tidak bisa dilakukan secara instan. Diperlukan keberanian politik, dukungan birokrasi, kemauan dari pelaku usaha, serta partisipasi aktif dari para pekerja untuk menciptakan tatanan yang lebih adil.

Dengan pendekatan yang tepat dan pelaksanaan yang konsisten, kebijakan penghapusan outsourcing dapat menjadi tonggak penting dalam mewujudkan cita-cita keadilan sosial di sektor ketenagakerjaan. Ini bukan semata-mata soal teknis pengelolaan tenaga kerja, melainkan juga menyangkut harkat dan martabat manusia yang bekerja demi menyokong kehidupan keluarga dan bangsa.

Kebijakan ini bukan hanya tentang menghapus praktik alih daya, tetapi lebih dari itu, tentang membangun masa depan dunia kerja yang menghargai manusia sebagai pusat pembangunan. Keberhasilan kebijakan ini akan menjadi cermin dari sejauh mana negara mampu melindungi rakyatnya dan menciptakan ekosistem kerja yang sehat, adil, dan berkelanjutan.

)* Penulis adalah Pegiat Literasi pada Narasi Nusa Institute

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *