Pemerintah dan Masyarakat Bergandengan Tangan Jaga Stabilitas Keamanan Papua

Oleh: Maria Wonda *)

Peristiwa penembakan terhadap dua pekerja gereja di Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua Pegunungan, kembali menampar nurani bangsa. Tindakan keji yang dilakukan oleh kelompok separatis bersenjata, Organisasi Papua Merdeka (OPM), bukan saja menewaskan dua warga sipil, tetapi juga memperlihatkan degradasi moral yang ditunjukkan oleh kelompok separatis ini menjadi tantangan serius bagi upaya pemerintah menjaga perdamaian. Aksi ini tidak hanya mencabik nilai-nilai kemanusiaan, tetapi juga mencederai ruang sakral keagamaan yang selama ini menjadi pilar harmoni masyarakat Papua.

Penyerangan terhadap rumah ibadah, khususnya saat proses pembangunan Gereja GKI Imanuel Air Garam, telah menunjukkan bahwa kelompok separatis kini tidak lagi membedakan antara sasaran militer dan warga sipil. Gereja yang sejatinya menjadi tempat mencari kedamaian dan penguatan spiritual, justru dijadikan target serangan yang mencerminkan kebrutalan tanpa batas. Para korban bukan aparat bersenjata, melainkan pekerja bangunan asal Purwakarta, yang tengah menunaikan tugas membangun rumah Tuhan. Fakta ini menegaskan bahwa OPM tidak sekadar menentang pemerintah, tetapi telah melukai masyarakat Papua sendiri, bahkan menyasar nilai-nilai suci yang dijunjung tinggi.

Reaksi keras dari para tokoh agama pun tak terhindarkan. Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Pendeta Darwin Darmawan, menyuarakan bahwa peristiwa ini harus dipandang sebagai pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia. Ia menilai bahwa ketegasan negara dalam penegakan hukum dan keterlibatan semua elemen, termasuk unsur gereja, sangat penting untuk mengakhiri pola kekerasan yang terus terjadi. Langkah pemerintah dalam merespons tragedi ini perlu diperkuat, termasuk kemungkinan pembentukan tim independen bersama Komnas HAM untuk mempercepat keadilan. Dalam pandangannya, pendekatan damai tetap dibutuhkan, tetapi tidak dengan mengorbankan keadilan dan rasa aman masyarakat.

Pernyataan senada juga datang dari Ketua Klasis Baliem Yalimo, Pendeta Eduard Su, yang menyampaikan bahwa penyerangan terhadap gereja bukan hanya tindakan kekerasan biasa, melainkan penghinaan terhadap tempat suci. Ia dengan tegas menyebut tindakan OPM sudah melewati batas kemanusiaan, dan menyisakan luka mendalam di hati masyarakat Papua. Tragedi ini seharusnya menjadi momen bagi seluruh komponen bangsa untuk bangkit dan menyatakan sikap tegas terhadap teror bersenjata yang menyasar masyarakat sipil.

Keberanian untuk menyebut kekejaman ini sebagai bentuk nyata terorisme juga datang dari pemerintah daerah. Wakil Bupati Jayawijaya, Ronny Elopere, tidak ragu menyatakan bahwa apa yang dilakukan OPM bukan perjuangan, tetapi bentuk pembunuhan terhadap orang asli Papua sendiri. Meski sempat diliputi trauma, masyarakat mulai kembali bangkit berkat dukungan pemerintah dan aparat keamanan. Namun di tengah kekhawatiran itu, ia menegaskan bahwa masyarakat Papua tidak akan diam, dan akan terus bersinergi dengan aparat keamanan demi menjaga kedamaian di tanah leluhur mereka.

Sikap tegas pemerintah, baik di pusat maupun daerah, menunjukkan bahwa negara tidak tinggal diam dalam menghadapi kejahatan bersenjata semacam ini. Seruan untuk bersatu, memperkuat solidaritas sosial, dan menolak kekerasan menjadi bagian dari semangat kolektif yang harus terus dijaga. Dalam hal ini, dukungan terhadap pemerintah bukan sekadar loyalitas politik, melainkan bentuk nyata keberpihakan kepada nilai-nilai kemanusiaan, ketertiban, dan keadilan. Pemerintah terus memperkuat upaya perlindungan warga melalui pendekatan keamanan dan kesejahteraan.

Tragedi Jayawijaya juga mengingatkan publik bahwa klaim perjuangan yang dilakukan oleh OPM tidak lagi memiliki legitimasi moral. Serangan terhadap rumah ibadah dan pembunuhan warga sipil, termasuk pekerja gereja, membuktikan bahwa tindakan mereka telah menyimpang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan dan kepentingan rakyat Papua. Di tengah realitas ini, pemerintah memegang tanggung jawab penting untuk tetap konsisten dalam menjaga stabilitas dan menjamin rasa aman bagi setiap warga negara di Papua, termasuk dengan langkah-langkah hukum yang tegas namun tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Keberpihakan negara terhadap masyarakat Papua semakin nyata melalui komitmen untuk mengusut tuntas kasus ini dan mencegah agar tidak terulang. Namun upaya pemerintah tentu tidak akan maksimal jika tidak dibarengi dengan partisipasi aktif masyarakat setempat, khususnya tokoh agama dan pemuka adat, dalam memperkuat budaya damai. Papua membutuhkan ruang-ruang dialog yang jujur dan terbuka, namun tetap dalam bingkai hukum dan konstitusi negara. Dalam konteks ini, dukungan terhadap pemerintah menjadi bagian penting dari perjuangan kolektif untuk menciptakan Papua yang bebas dari rasa takut, dan menjadikan kedamaian sebagai identitas utama masyarakat.

Duka mendalam dari tragedi ini menyisakan pesan kuat bahwa kekerasan tidak pernah menjadi jalan keluar. Pemerintah hadir untuk memastikan bahwa kekerasan tidak mendapat tempat di Papua. Jalan damai dan dialog harus tetap ditempuh, namun tidak dengan mengabaikan ketegasan hukum. Negara terus hadir dalam setiap luka yang dirasakan masyarakat Papua, dan kehadiran itu tidak hanya dalam bentuk belasungkawa, melainkan melalui tindakan nyata dalam menjaga keamanan dan keadilan. Pemerintah telah menunjukkan langkah yang tepat, dan kini saatnya seluruh komponen bangsa berdiri bersama, bukan sekadar mengutuk kekejaman, tetapi memastikan bahwa tidak ada lagi ruang bagi teror untuk berkembang di tanah Papua.

*) Pengamat Sosial dari Papua Pegunungan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *