Oleh : Vania Salsabila Pratama )*
Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden RI kedelapan, Prabowo Subianto, berhasil menunjukkan respons cepat dan terukur dalam menghadapi tekanan ekonomi global. Strategi efisiensi birokrasi dan kemandirian ekonomi yang digagas oleh pemerintah terbukti mampu menjadi tameng kuat menghadapi kebijakan tarif tinggi yang diberlakukan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, serta tekanan pelemahan nilai tukar rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Langkah konkret diambil sejak awal melalui penekanan pada efisiensi dan penyederhanaan birokrasi. Presiden Prabowo secara tegas menyampaikan bahwa tantangan global yang terjadi saat ini justru menjadi momentum untuk merampingkan sistem pemerintahan dan meningkatkan kemandirian ekonomi nasional. Kepala Negara menilai peningkatan tarif impor oleh Amerika Serikat terhadap berbagai negara, termasuk Indonesia, sebagai bentuk guncangan ekonomi yang perlu dijawab secara strategis.
Dalam forum sarasehan ekonomi nasional, Presiden Prabowo menegaskan bahwa prioritas pemerintahannya adalah mencapai swasembada pangan dan energi sebagai pondasi ketahanan ekonomi nasional. Strategi tersebut berjalan seiring dengan agenda pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Presiden RI kedelapan tersebut memerintahkan jajaran kementerian dan lembaga untuk menyederhanakan perizinan serta meningkatkan efisiensi agar para pelaku ekonomi dapat bergerak lebih leluasa dan produktif di tengah ketidakpastian global.
Pernyataan Presiden Prabowo menegaskan bahwa kebijakan proteksionisme yang diterapkan AS justru memberi kesempatan bagi Indonesia untuk membangun ekonomi yang kuat dari dalam.
Menurut Kepala Negara, tekanan dari luar negeri merupakan pemicu yang membangkitkan semangat reformasi struktural dan pembenahan sistem ekonomi secara menyeluruh. Ia bahkan menilai bahwa tindakan Presiden AS Donald Trump bisa dianggap sebagai dorongan tidak langsung agar Indonesia tidak terus bergantung pada kenyamanan sistem lama yang kurang produktif.
Pemerintah Indonesia tidak hanya bergerak dalam kerangka domestik. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengungkapkan bahwa diplomasi ekonomi Indonesia dilakukan secara terkoordinasi dan menyeluruh.
Salah satu langkah penting adalah menghidupkan kembali Perjanjian Kerja Sama Perdagangan dan Investasi (TIFA) yang sudah eksis sejak 1996. Revitalisasi perjanjian tersebut menjadi landasan dalam negosiasi dagang yang lebih strategis dengan Amerika Serikat.
Airlangga juga menegaskan pentingnya aliansi ekonomi alternatif dengan bergabungnya Indonesia ke dalam New Development Bank (NDB) milik negara-negara BRICS. Keterlibatan Indonesia dalam forum multilateral tersebut membuka peluang kerja sama lebih luas, terutama dengan negara-negara mitra non-tradisional seperti Rusia, yang direncanakan akan melakukan kunjungan tingkat tinggi ke Indonesia dalam waktu dekat.
Sebagai bagian dari strategi diplomatik, Indonesia turut mendorong penyatuan sikap di kawasan ASEAN untuk menghadapi dinamika kebijakan dagang Amerika Serikat. Airlangga menyampaikan bahwa para pemimpin ASEAN akan bertemu untuk menyelaraskan posisi, dengan Indonesia berperan aktif dalam menginisiasi komunikasi antara negara-negara anggota, termasuk Singapura, Malaysia, dan Kamboja.
Tidak berhenti di situ, pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto juga menyiapkan sejumlah insentif baik fiskal maupun non-fiskal untuk mendorong investasi dan perdagangan yang lebih kompetitif.
Relaksasi Non-Tariff Measures (NTMs), evaluasi terhadap pelarangan dan pembatasan barang, serta pelonggaran Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) di sektor teknologi informasi menjadi bagian dari strategi besar.
Bahkan, peningkatan impor migas dari AS dipertimbangkan sebagai solusi jangka pendek untuk menjaga keseimbangan perdagangan, sekaligus menjaga stabilitas pasokan energi dalam negeri.
Strategi dual-track yang dijalankan pemerintah Indonesia saat ini mendapat pengakuan dari Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ia memandang pendekatan diplomasi dan negosiasi yang ditempuh oleh pemerintahan Prabowo jauh lebih efektif dibandingkan dengan opsi retaliasi. Menurutnya, langkah tersebut memperlihatkan kecermatan dalam membaca peta geopolitik dan dinamika perdagangan internasional.
SBY juga menekankan pentingnya kerja sama regional dalam kerangka ASEAN sebagai blok ekonomi yang solid dan saling menopang. Dalam situasi tekanan eksternal, kekuatan kolektif negara-negara Asia Tenggara dapat menjadi penyeimbang dalam menanggapi proteksionisme global yang semakin intens.
Selain itu, SBY menyatakan bahwa upaya stabilisasi nilai tukar rupiah dan kinerja IHSG melalui sinergi otoritas fiskal dan moneter adalah langkah penting untuk mencegah gejolak yang berlebihan.
Susilo Bambang Yudhoyono mengingatkan bahwa membiarkan pasar bekerja tanpa intervensi di tengah situasi turbulen justru dapat membawa risiko sistemik. Oleh karena itu, integrasi kebijakan makroekonomi menjadi kunci untuk menjaga daya tahan perekonomian nasional.
Dukungan terhadap upaya peningkatan daya saing dan penciptaan lapangan kerja juga menjadi catatan penting. Pemerintah dinilai berhasil menjaga fundamental ekonomi nasional tetap sehat, sembari memperkuat struktur fiskal dan menjaga utang negara agar tidak membebani generasi mendatang. Dalam pandangan SBY, kemampuan Indonesia untuk merespons secara cepat sekaligus menjaga visi jangka panjang merupakan kekuatan utama dalam menghadapi tantangan global.
Efisiensi kebijakan dan ketepatan strategi ekonomi yang dijalankan Presiden Prabowo Subianto membawa angin segar bagi ketahanan ekonomi Indonesia. Di tengah dinamika proteksionisme internasional dan gejolak pasar keuangan, pemerintah menunjukkan bahwa efisiensi birokrasi, kemandirian ekonomi, serta diplomasi yang luwes adalah kombinasi efektif untuk memastikan stabilitas dan keberlanjutan pembangunan nasional. (*)
)* Penulis adalah kontributor Ruang Baca Nusantara